“Tuhan sang pencipta”
Ternyata yang namanya manusia itu
sudah didesign oleh Tuhan sedemikian unik dan komplitnya, tapi jarang orang
yang menyadari bahwa dirinya telah dilengkapi oleh berbagai unsur sebagai alat
bantu (pelengkap) yang dibutuhkan. Setiap manusia yang akan dilahirkan kedunia,
pada usia empat bulan dalam kandungan sudah dihembuskan sebuah ‘roh’ oleh Tuhan. Dan roh (sukma/nyawa)
itu berupa pancaran sinar Tuhan, yang memiliki sifat-sifat Tuhan dan
selanjutnya akan melekat pada roh/nyawa/sukma manusia tersebut. Sementara yang
namanya ‘Jiwa’ setiap manusia yang
lahir di dunia otomatis punya jiwa (watak/ karakter) yang terdiri dari empat
unsur, dan setiap unsurnya mewakili sifat ‘tanah,
api, angin dan air.’ Karena
tubuh/ raga manusia terbuat dari empat unsur tadi, maka sifat/ karakter yang
ada sesuai dengan bahan bakunya (materialnya). Dan yang jelas watak (karakter)
orang tuanya ‘temurun’ pada anak
keturunannya, karena anak itu refleksi orang tuanya (ibarat buah jatuh, tidak
jauh dari pohonnya). Dalam kepercayaan Jawa atau ‘Kejawen’ setiap manusia sejatinya selalu didampingi oleh saudara
kembarnya, atau istilah lain; setiap orang itu ada yang ‘momong’ (yang memelihara), yaitu “sedulur papat, lima pancer.” Yang dimaksud ‘sedulur
papat’ itu, ya’ jiwa yang ada, yang
terdiri dari empat unsur tadi (tanah, api, air dan udara). Sementara yang
dimaksud ‘sedulur pancernya’ adalah ‘roh’ yang memiliki sifat-sifat Tuhan (kebenaran, kebaikan, kejujuran
dan seterusnya). Setiap unsur yang ada pada ‘jiwa’ selalu ada plus dan minusnya, tapi roh/sukma/nyawa yang
memiliki sifat Tuhan selalu mengajak setiap unsur untuk memunculkan sifat
positifnya. Contoh sifat ‘api’ (salah satu unsur dalam jiwa manusia) itu panas (membara),
roh mengajak/ menganjurkan/ mengarahkan sifat itu dimunculkan pada saat yang
tepat, jangan setiap persoalan dihadapi dengan jiwa (sifat) yang panas dan membara,
dan seterusnya. Pada tingkatan tertentu, roh/sukma/nyawa yang dihembuskan pada
raga manusia bisa mengendalikan empat unsur yang menjadi sebuah ‘kesatuan’ dalam jiwa manusia. Jadi bagi
seseorang yang jiwanya terkendali, menunjukkan bahwa roh yang bersemayan dalam
tubuhnya bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Karena pancaran sinar Tuhan yang
ada pada nyawa (roh) manusia bisa mewakili sifat-sifat Tuhan secara nyata
(langsung), dan tentunya tindak-tanduknya sesuai sifat yang dimiliki-Nya. Namun
semua itu tidak ‘ujuk-ujuk’ atau otomatis, harus ada latihan
dan kebiasaan agar roh bisa mengontrol (mengendalikan) jiwa yang dipengarui
empat unsur tadi. Disamping roh yang ada pada setiap manusia, Tuhan juga
memerintahkan dua malaikat untuk mengawasi setiap gerak dan tingkah laku
seorang manusia (ada istilah lain, mencatat kelakuan setiap manusia). Dalam
kepercayaan Nasrani (?) manusia atau orang itu ‘digembalakan’ oleh dua
malaikat. Jadi, sebagai manusia yang dilahirkan dengan kelengkapan yang
sedemikian komplitnya, mestinya’ berkelakuan baik dan benar sesuai harapan
pencipta-Nya. Sensor atau sinyal-sinyal yang melengkapi ‘wadag ' (tempat bersemayamnya roh dan jiwa) manusia sudah dipersiapkan
sedemikian rupa oleh pencipta-Nya, tapi penyimpangan perbuatan yang tidak
diridho’i dan tidak pantas tetap dilakukan oleh yang namanya manusia. Hal
demikian sangat memprihatinkan dan apakah penyebabnya, hingga kadang-kadang
kita mendengar ada perbuatan manusia yang diluar batas kemanusiaan. Atau
melakukan perbuatan yang merusak lingkungan dan merugikan mahkluk lain, bahkan
bangsanya (kaumnya) sendiri. Setelah roh kembali pada alamnya (dipanggil Tuhan?) yang berarti orang tersebut sudah meninggal, jiwanya pun
lenyap bersama tidak berfungsinya organ tubuh yang rusak. Dan ‘wadag/ raga/ fisik’
manusia yang terbuat dari air, tanah, udara dan api sudah tidak bisa berkerja
atau tidak berfungsi, maka sifat-sifatnya pun tidak berperan lagi. Dalam
kepercayaan Hindhu/ Budha (?) Roh yang sudah kembali atau dipanggil oleh Tuhan
suatu saat akan ditiupkan kembali pada janin yang ada dalam kandungan seorang
ibu. Roh yang dihembuskan pada janin seperti bilangan ‘0’ (nol/ kosong/ suwung),
bukan tidak ada, tapi dalam kondisi bersih dan suci, yang belum terisi oleh
apapun. Walaupun roh tersebut sebelumnya pernah bersemayam pada jasad manusia,
tapi saat ditempatkan/ dihembuskan pada janin berikutnya selalu memulai dari
awal (0). Bagaikan mesin hitung yang selalu berawal dari angka ‘nol’ sekalipun sebelumnya banyak
penjumlahan yang sudah dilakukan dan mungkin sampai jutaan dan milyardan, tapi
akan kembali pada hitungan awal (0). Proses semacam ini bisa disebut ‘proses daur ulang’ karena ada
kaitannya dengan kelahiran kembali, maka disebut juga ‘rheekarnasi’ atau ‘penitisan’
(Jawa), itulah hukum alam yang mungkin berlaku bagi semua mahkluk yang ada
dibumi. Roh yang akan ditiupkan pada janin baru, sudah diproses sesuai ‘amal dan perbuatan’ yang sudah dilakukan. Dalam kepercayaan Hindhu/ Budha
(?) ‘Karma’-lah yang akan menentukan
kehidupan berikutnya. Dalam kepercayaan Hindhu/ Budha (?) kehidupan manusia
dibumi ini ada ‘kasta’-nya (tingkatan). Jadi dengan ‘karma’ (amal dan perbuatan) seseorang
akan menentukan tingkatan derajat (kasta)
kehidupan berikutnya. Roh yang dihembuskan pada janin berikutnya saat lahir akan
merasakan suasana yang baru (makanya setiap bayi yang lahir selalu menangis),
dan kelahiran kembali tersebut selalu tidak disadari oleh roh yang bersangkutan.
Jadi surga dan neraka itu (sudah) tercipta di bumi ini, oleh karena kehidupan
dibumi yang berulang (seperti-cakra panggilingan), dan kehidupan berikut
selalu didasarkan pada perbuatan kehidupan sebelumnya. Roh yang tidak bisa
mengendalikan ‘jiwa’ dengan baik akan ditempatkan pada derajat yang lebih
rendah, di lingkungan yang dihuni oleh ‘kasta’
rendah, disitu mungkin tidak ada peradaban, dan mungkin itulah yang disebut
neraka. Jadi, tidak perlu menunggu alam ini hancur baru diadakan pengadilan,
lalu ada yang dimasukan keneraka dan ada juga yang dimasukan kesurga. Rasanya
Tuhan tidak perlu menghancurkan alam semesta ini, khususnya bumi, yang
prosesnya butuh waktu milyardan tahun. Cukup membuat sistem (dalil) yang bekerja secara otomatis,
yaitu hukum alam (proses daur ulang).
Dan tentunya Tuhan tidak bersifat sebagai penyiksa dan penganiaya seperti yang
digambarkan oleh agamawan-agamawan dalam kotbahnya. Konon, bagi orang yang
tidak mengakui adanya Tuhan akan dimasukkan kedalam neraka (yang berarti
disiksa), dan bagi yang rajin menyembah dan memuja Tuhan akan dimasukkan
kedalam surga, dan seterusnya. Hari akhir yang dimaksud dalam kitab suci, (mungkin) akhir hayat seseorang, dan ini
memang sesuatu yang harus diyakini (di-imani), karena semua tidak ada yang abadi
(ada, life time-nya), semua akan berakhir. Akhirat adalah tempat penantian,
atau proses evaluasi yang dilakukan oleh Tuhan terhadap roh yang punya misi kedunia,
sebelum memberi misi (tugas) berikutnya dengan cara dihembuskan kembali pada
janin. Tuhan tidak bisa diindentikkan punya sifat seperti yang dimiliki manusia,
karena matrial Tuhan tidak seperti matrialnya manusia. “Wah, pak De jangan
sembarangan menyampaikan pemahaman semacam itu pada orang, nanti dianggap
menyimpangkan ajaran agama atau penyesatan” kata Leo, yang dijawab oleh pak De,
“zaman sekarang adalah zaman kebebasan, setiap orang boleh menyampaikan
pendapatnya dan itu syah. Apa yang aku sampaikan bukan pahamku, tapi pahamnya
‘Syeh Siti Jenar’ yang aku ketahui dari buku yang dijual secara bebas. Dan
menurutku, pemahaman semacam itu hanya sebagai khasanah atau pengetahuan yang
mungkin malah mempertebal keimanan kita.” Jadi kita dibolehkan mengetahui paham
orang, dan malah dianjurkan, supaya kita bisa membuat perbandingan, antara
paham yang kita anut dan paham orang lain. Hal ini juga sebagai bahan koreksi
dan intropeksi untuk kita, tentang keimanan dan agama yang kita anut. Dan sesungguhnya
setiap orang sudah punya keyakinan masing-masing, tapi keyakinan itu didapat
dari menyontoh/ meniru orang lain. Dan kebenaran yang sejati itu sesungguhnya
ada dimana? dan bagaimana? itu yang harus kita gali dan kita cari terus, dan
itulah proses. Sepanjang proses itu masih berlangsung, itulah kehidupan.
Mungkin kebenaran saat kemarin, tidak benar saat sekarang, dan kebenaran saat
sekarang mungkin kesalahan saat nanti. Dan itulah ‘cakra panggilingan’ (proses daur ulang) yang dalam dunia pewayangan
dikatakan demikian, dan dunia nyatapun memang demikian adanya. “Kalau mendengar
uraian pak De, manusia yang dilahirkan di negara yang selevel Indonesia berarti
ditempatkan di neraka? Sementara surga itu seperti negara Finlandia,
Luksemburg, Islandia, Selandia Baru dll yang negaranya makmur dan tentram?”
yang di jawab oleh pak De, “bisa jadi, mengingat negara kita suasananya
semrawut tidak karuan, tidak ada kerukunan antarumat beragama, korupsi
merajalela, radikalisme membabibuta dan setiap orang hanya memikirkan dirinya
dan kelompoknya. Ini cermin kehidupan dineraka jahanam, sementara orang yang ‘dihidupkan’ disurga bisa menikmati
pertandingan bola dengan damai, kehidupan yang tentram, keluarga yang harmonis,
lalu lintas di jalan rayanya tertib dlsb.” (Astafirullah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar