Senin, 06 Juni 2016

"ATI, LATI lan PAKARTI NYAWIJI"



Ati, itu bahasa Jawa, kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah ‘hati’ sementara ‘lati’ itu arti harfiahnya bibir, tapi yang dimaksud disini adalah ucapan atau perkataan. ‘Lan’ (dan) ‘pakarti’ itu perbuatan atau juga sikap dan tindak-tanduk seseorang. ‘Nyawiji’ itu menyatu, jadi kalimat diatas menginginkan, sebagai manusia atau orang, itu hati, pikiran, ucapan dan perbuatannya harus menyatu atau sama. Kalau ada orang yang ucapan dan perbuatannya tidak sama, itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan, orang yang tidak bermutu. Karena kualitas manusia itu ditentukan oleh ucapan dan perbuatannya, sementara ucapan dan perbuatan dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Kalau kita ingin tahu isi hati dan pikiran seseorang, cukup kita dengar ucapannya dan lihat perbuatannya. Kalau ada orang yang ucapan dan perbuatannya tidak sama, menunjukkan isi hati dan pikirannya juga lain. Dizaman sekarang ini banyak ditemukan orang yang ucapan dan perbuatannya berbeda, atau ‘mencla-mencle’ (Pagi kedele, sore tempe, malam onde-onde). Apalagi seorang politisi yang hanya mengandalkan pandai bersilat lidah, atau pandai berdebat (pokrul), malah’ ada yang mengatakan mereka itu ‘rai gedek’ (tidak punya malu). Artinya apa, sekalipun lawan bicaranya itu tahu apa yang disampaikan itu bohong, tapi dia tidak peduli dan tetap mempertahankan kebohongannya. Semua itu hanya semata-mata untuk mengelabuhi musuh politiknya, dan mungkin menipu rakyat atau menutupi keculasannya. Orang yang terjun kedunia politik harus punya kepandaian bersandiwara, bukan pada orang lain saja, tapi juga bersandiwara pada dirinya sendiri. Artinya, kalau isi hati dan ucapannya tidak sama, itu’ harus didukung oleh gesture, gerak tubuh yang bisa meyakinkan orang lain yang diajak bicara atau orang yang melihatnya. Dan itulah sandiwara yang diperlihatkan seorang penipu ulung, yang bahasa ‘kerennya’ disebut ‘politisi’. Keberhasilan seorang politisi ditentukan oleh ‘kepiawaian’ memainkan peran dalam sandiwara yang diciptakannya sendiri. Memang zaman telah berubah, untuk dikatakan berhasil dizaman sekarang orang tidak harus jujur. Dengan kejujuran yang kita miliki dan kita lakukan belum tentu mendapatkan sesuatu yang disebut keberhasilan. Tolok ukur atau standart penilaian terhadap seseorang di zaman sekarang, adalah ke-‘bendaan’ dan harus kelihatan, apa yang dimilki orang tersebut? Apa yang dipakai orang tersebut? Sementara kejujuran itu abstrak, tidak kelihatan dan mungkin tidak dibutuhkan di zaman sekarang. Kalau zaman dulu orang jujur itu kelihatan dan dihargai, kalau sekarang ‘jujur hancur’. Dulu orang jujur bisa berharap dapat pahala dan masuk surga, tapi sekarang orang bicara yang pasti saja. Kalau sudah bertindak dan berbuat, tapi’ tidak dapat sesuatu, itu tandanya sia-sia atau percuma, dan sebaiknya jangan melakukan saja. Zaman sekarang disebutnya ‘zaman edan, ora ngedan, ora keduman’ (zaman gila, kalau tidak nge-gila, tidak kebagian). Tapi Tuhan itu maha adil, bagi orang yang yakin bahwa kejujuran itu ‘akan’ berdampak pada perjalanan hidupnya. Dan orang yang bertindak jujur itu suatu bentuk keberuntungan, bahwa ia tidak ‘terjerumus’ pada perbuatan yang nista dan tercela. Orang yang jujur akan ketemu dengan orang jujur, orang yang culas akan ketemu dengan orang yang culas juga. Jadi hukum alam-lah yang akan mempertemukan pasangan orang, sesuai amal perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dunia ini berputar sesuai hukum/dalil, yang sudah dibuat oleh ‘Dzat’ yang berwenang dan berkuasa, kita hanya bagian dari alam yang sudah di design oleh-Nya. Jadi bagi orang yang punya kesadaran dan sensitifitas sesuai harapan penciptanya, sebaiknya ikuti firasat atau tanda-tanda alam yang terlihat dan terdengar disekitar kita. Untuk itu asahlah, latihlah rasa dan naluri kita terhadap kejadian dan petujuk alam yang terjadi disekitar kita. Untuk menjadi mahkluk yang diharapkan oleh sang pencipta, tidak musti mengikuti ustad-ustad, penceramah-penceramah yang sudah ditunggangi kepentingan mereka, cukup mau mendengar dan memperhatikan kejadian alam yang menjadi petunjuk hidup yang (yakin) ‘jujur’. Alam itu dijamain kejujurannya dan pasti ‘ati-nya, lati-nya lan pakarti-nya nyawiji’                 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar