Jumat, 10 Juni 2016

" NGAYOMI lan NGAYEMI "



Ngayomi lan ngayemi(melindungi dan menentramkan)
Keluarga itu bisa terdiri dari anak, bapak dan ibu, tapi juga bisa sebuah negara yang terdiri dari rakyat, kepala negara, lembaga negara dan lain-lain, yang punya tugas dan fungsi berbeda-beda. Keluarga bernaung dalam sebuah rumah, yang ada sekat-sekatnya, ada kamar tidur, ada kamar mandi, ada dapur dan juga kamar tamu. Masing-masing kamar punya fungsi yang berbeda, dan punya batas yang nyata, bukan berupa sekat atau dinding saja, tapi batas etik yang tidak boleh dilanggar. Kalau sudah ada dapur tentunya tidak boleh masak di ruang tamu, kalau sudah ada kamar tidur tidak boleh tidur di ruang tamu, dan seterusnya. Sementara pemerintah bernaung dalam sebuah negara yang dilengkapi berbagai kementrian, dan berlakunya berbagai ketentuan yang berupa peraturan atau perundang-undangan, yang berarti adanya batas-batas yang harus dipatuhi oleh setiap lembaga negara. Bila ada aparat, atau lembaga negara yang merasa punya kebebasan dalam kewenangan yang melampui batas wilayahnya, tentunya menjadi janggal dan aneh. Tinggal rakyat bertanya dan heran, kenapa ada bagian dari sebuah keluarga yang arogan dan mentang-mentang dalam bersikap dan bertindak? Tentunya hal demikian menjadi pelanggaran terhadap sebuah ‘nilai yang telah disepakati bersama, baik tertulis yang berarti sebuah undang-undang atau tidak tertulis sebagai bentuk etika dalam sebuah keluarga. Sebagai bangsa yang masih menjujung norma dan etika tentunya pelanggaran yang dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja akan menjadi sebuah ‘tamparan’ terhadap mukanya sendiri, kata lain memalukan. Tapi rasa malu, rasa ewuh-pakewuh dan rasa sungkan itu sekarang jadi barang langka dan mahal harganya. Hanya orang yang mampu dan berpunya yang masih memiliki rasa-rasa tersebut, sementara orang yang dianggap mampu dan berpunya jumlahnya sangat sedikit, dan adanya di daerah, mungkin dipelosok. Yang dimaksud orang mampu dan berpunya adalah orang yang punya kelengkapan sebagai pribadi normal. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai orang yang ‘mumpuni’ kata mumpuni menyiratkan seseorang yang segalanya mampu dan bisa, juga sebagai pribadi yang ‘lebih’ diatas rata-rata orang kebanyakan. Seorang pemimpin harus ‘mumpuni’ dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, tugas seorang pemimpin salah satunya me-‘ngayomi’ bawahannya atau rakyatnya. Kata me-ngayomi tidak sekedar melindungi tapi juga harus bisa menciptakan suasana yang tentram (ngayemi) dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah keluarga, juga sebuah pemerintahan hendaknya diketuai atau dikepalai oleh seseorang yang ‘bijak’ dan ‘mumpuni’ sehingga dia bisa ‘ngayomi dan ngayemi’ anggota keluarganya. Tanpa punya sifat mengayomi dan ngayemi yang dimiliki seorang pemimpin, anggota keluarga akan merasa was-was dan gamang dalam kehidupannya. Sedemikian juga kehidupan sebuah negara, apa bila pemimpinnya tidak bisa menciptakan rasa aman pada rakyatnya, akan dipertanyakan. Rakyat sangat membutuhkan rasa aman dan tentram dalam kehidupan yang dilalui setiap hari, baik dalam menjalankan aktifitasnya maupun menyongsong masa depannya. Pada zaman dahulu, raja-raja yang menguasai sebuah kerajaan dituntut punya kahrisma dan wibawa yang membuat rakyatnya patuh dan tunduk (hormat), sehingga tercipta suasana damai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan wibawa yang dimiliki seorang raja, rakyat atau bawahan tidak berani melakukan tindakan yang bersifat melawan, semua tunduk dan patuh. Sehingga hanya satu perbuatan yang dilakukan, ialah; ‘mengabdi’. Pengabdian bukan sesuatu yang kaku dan mati, akan tetapi rakyat meyakini, dengan mengabdi pada raja secara tulus dan iklas akan mendatangkan kebahagian dan kepuasan sebagai seorang abdi dalem. Raja akan melakukan perlindungan dan pengayoman pada rakyatnya, apa bila rakyat mau melakukan pengabdian dengan tulus pada rajanya. Kalau boleh aku simpulkan (kemungkinan) sebuah kerajaan yang besar sekalipun, raja dalam memimpin menggunakan azas kekeluargaan. Maksudnya, antara raja dan rakyatnya terjalin hubungan kekeluargaan, walaupun hanya secara batiniyah, artinya, tidak selalu berdekatan tapi cukup dihatinya saja. Dengan dasar semacam itu, timbullah rasa saling menyayangi, karena ada rasa timbal balik (take and give), rakyat membutuhkan pengayoman, dan raja membutuhkan rakyat iklas dalam pengabdian. Rasa keiklasan kedua belah pihak inilah yang membuat kukuhnya persatuan dan kesatuan sebuah bangsa atau keluarga. Dalam kehidupan berdemokrasi sekarang ini, sesungguhnya memberi hak lebih banyak pada rakyat, karena dalam kepemimpinan raja bersifat absolute (mutlak). Keseimbangan hak, antara yang memimpin dan yang dipimpin menjadi target utama dalam berdemokrasi, sementara hasil yang ingin dicapai adalah sama, ketentraman dan kedamaian rakyat dalam sebuah negara atau keluarga. Perkembangan zaman telah berobah, dahulu rakyat melayani raja, sekarang aparat melayani rakyatnya. Tentunya bentuk pelayanan yang dimaksud bukan dalam arti langsung, tetapi ada mekanisme yang dijalankan sesuai prosedur dan tata kelola yang dianut dalam sebuah instansi. Contohnya dalam hal kebutuhan pangan, bukan berarti aparat menyediakan makanan pada rakyat, tetapi cukup tersedianya bahan makanan yang dibutuhkan. Juga kebutuhan tentang kesehatan masyarakat, cukup tersedianya rumah sakit atau pusat kesehatan yang dilengkapi obat dan dokter sebagai penunjang kesehatan rakyat dalam sebuah kota. (Itulah harapan rakyat pada pemimpinnya, bisa ngayomi dan ngayemi).                                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar