“Ngayomi lan ngayemi” (melindungi
dan menentramkan)
Keluarga itu bisa terdiri dari
anak, bapak dan ibu, tapi juga bisa sebuah negara yang terdiri dari rakyat, kepala
negara, lembaga negara dan lain-lain, yang punya tugas dan fungsi berbeda-beda.
Keluarga bernaung dalam sebuah rumah, yang ada sekat-sekatnya, ada kamar tidur,
ada kamar mandi, ada dapur dan juga kamar tamu. Masing-masing kamar punya
fungsi yang berbeda, dan punya batas yang nyata, bukan berupa sekat atau
dinding saja, tapi batas etik yang tidak boleh dilanggar. Kalau sudah ada dapur
tentunya tidak boleh masak di ruang tamu, kalau sudah ada kamar tidur tidak
boleh tidur di ruang tamu, dan seterusnya. Sementara pemerintah bernaung dalam
sebuah negara yang dilengkapi berbagai kementrian, dan berlakunya berbagai
ketentuan yang berupa peraturan atau perundang-undangan, yang berarti adanya
batas-batas yang harus dipatuhi oleh setiap lembaga negara. Bila ada aparat,
atau lembaga negara yang merasa punya kebebasan dalam kewenangan yang melampui
batas wilayahnya, tentunya menjadi janggal dan aneh. Tinggal rakyat bertanya
dan heran, kenapa ada bagian dari sebuah keluarga yang arogan dan
mentang-mentang dalam bersikap dan bertindak? Tentunya hal demikian menjadi
pelanggaran terhadap sebuah ‘nilai’ yang telah disepakati bersama,
baik tertulis yang berarti sebuah undang-undang atau tidak tertulis sebagai
bentuk etika dalam sebuah keluarga. Sebagai bangsa yang masih menjujung norma
dan etika tentunya pelanggaran yang dilakukan, baik sengaja maupun tidak
sengaja akan menjadi sebuah ‘tamparan’
terhadap mukanya sendiri, kata lain memalukan.
Tapi rasa malu, rasa ewuh-pakewuh dan rasa sungkan itu sekarang jadi barang
langka dan mahal harganya. Hanya orang yang mampu dan berpunya yang masih
memiliki rasa-rasa tersebut, sementara orang yang dianggap mampu dan berpunya
jumlahnya sangat sedikit, dan adanya di daerah, mungkin dipelosok. Yang
dimaksud orang mampu dan berpunya adalah orang yang punya kelengkapan sebagai
pribadi normal. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai orang yang ‘mumpuni’ kata mumpuni menyiratkan
seseorang yang segalanya mampu dan bisa, juga sebagai pribadi yang ‘lebih’ diatas rata-rata orang
kebanyakan. Seorang pemimpin harus ‘mumpuni’
dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, tugas seorang pemimpin salah
satunya me-‘ngayomi’ bawahannya atau
rakyatnya. Kata me-ngayomi tidak sekedar melindungi tapi
juga harus bisa menciptakan suasana yang tentram (ngayemi) dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah keluarga, juga
sebuah pemerintahan hendaknya diketuai atau dikepalai oleh seseorang yang ‘bijak’ dan ‘mumpuni’ sehingga dia bisa ‘ngayomi
dan ngayemi’ anggota keluarganya.
Tanpa punya sifat mengayomi dan ngayemi yang dimiliki seorang pemimpin,
anggota keluarga akan merasa was-was dan gamang dalam kehidupannya. Sedemikian
juga kehidupan sebuah negara, apa bila pemimpinnya tidak bisa menciptakan rasa
aman pada rakyatnya, akan dipertanyakan. Rakyat sangat membutuhkan rasa aman
dan tentram dalam kehidupan yang dilalui setiap hari, baik dalam menjalankan
aktifitasnya maupun menyongsong masa depannya. Pada zaman dahulu, raja-raja
yang menguasai sebuah kerajaan dituntut punya kahrisma dan wibawa yang membuat rakyatnya patuh dan tunduk (hormat),
sehingga tercipta suasana damai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan wibawa yang
dimiliki seorang raja, rakyat atau bawahan tidak berani melakukan tindakan yang
bersifat melawan, semua tunduk dan patuh. Sehingga hanya satu perbuatan yang
dilakukan, ialah; ‘mengabdi’.
Pengabdian bukan sesuatu yang kaku dan mati, akan tetapi rakyat meyakini,
dengan mengabdi pada raja secara tulus dan iklas akan mendatangkan kebahagian
dan kepuasan sebagai seorang abdi dalem. Raja akan melakukan perlindungan
dan pengayoman pada rakyatnya, apa bila rakyat mau melakukan pengabdian dengan
tulus pada rajanya. Kalau boleh aku simpulkan (kemungkinan) sebuah kerajaan yang besar sekalipun, raja dalam
memimpin menggunakan azas kekeluargaan. Maksudnya, antara raja dan rakyatnya terjalin
hubungan kekeluargaan, walaupun hanya secara batiniyah, artinya, tidak selalu berdekatan tapi cukup dihatinya saja. Dengan
dasar semacam itu, timbullah rasa saling menyayangi, karena ada rasa timbal
balik (take and give), rakyat
membutuhkan pengayoman, dan raja membutuhkan rakyat iklas dalam pengabdian.
Rasa keiklasan kedua belah pihak inilah yang membuat kukuhnya persatuan dan
kesatuan sebuah bangsa atau keluarga. Dalam kehidupan berdemokrasi sekarang
ini, sesungguhnya memberi hak lebih banyak pada rakyat, karena dalam
kepemimpinan raja bersifat absolute (mutlak). Keseimbangan hak, antara yang
memimpin dan yang dipimpin menjadi target utama dalam berdemokrasi, sementara
hasil yang ingin dicapai adalah sama, ketentraman dan kedamaian rakyat dalam
sebuah negara atau keluarga. Perkembangan zaman telah berobah, dahulu rakyat
melayani raja, sekarang aparat melayani rakyatnya. Tentunya bentuk pelayanan
yang dimaksud bukan dalam arti langsung, tetapi ada mekanisme yang dijalankan
sesuai prosedur dan tata kelola yang dianut dalam sebuah instansi. Contohnya
dalam hal kebutuhan pangan, bukan berarti aparat menyediakan makanan pada
rakyat, tetapi cukup tersedianya bahan makanan yang dibutuhkan. Juga kebutuhan
tentang kesehatan masyarakat, cukup tersedianya rumah sakit atau pusat kesehatan
yang dilengkapi obat dan dokter sebagai penunjang kesehatan rakyat dalam sebuah
kota. (Itulah harapan rakyat pada pemimpinnya, bisa ngayomi
dan ngayemi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar