Senin, 20 Agustus 2018

"Benarkah agana Islam mengajarkan kekerasan . . . ?"

~ BENARKAH AGAMA ISLAM MENGAJARKAN KEKERASAN? ~

Saya menyahut, “Benar.”

Apakah Anda terluka, atau tersinggung dengan jawaban saya?

Beberapa jam setelah peristiwa pemboman di tiga gereja di Surabaya, saya merasa tersinggung dengan kata-kata Din Syamsudin yang sewaktu itu berbicara untuk mewakili MUI. Dia meminta agar umat Kristen tidak terpancing dengan peristiwa ini.

Sebagai seorang Kristen, sekaligus sesama alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, saya ingin mengatakan bahwa “Umat Kristen sejati ialah sebagaimana diteladani murid-murid perdana Yesus Kristus. Mereka diajarkan oleh Yesus untuk memberi pengampunan 77 kali 7 kepada orang yang bersalah terhadap mereka. Sebuah hadis Islam mengutip ajaran ini bahwa Rasulullah Muhammad SAW juga mengajarkan agar memberi pengampunan 70 kali kepada orang yang bersalah terhadap kita.”

Kekristenan tidak dibangun di atas imperialisme dan kolonialisme, sampai abad ke-4 M ketika Kaisar Romawi memeluk Kristen dan menjadikannya sebagai agama negara demi ambisi kekuasaannya. Umat Kristen perdana yang dididik untuk mengampuni dan mengasihi menjadi sumber daya yang dianggap penting bagi kelanggengan kekuasaan Romawi, karena itu menjadikan Kristen sebagai agama yang diakui bahkan agama negara sebagai perlu dilakukan untuk mengendalikan umat Kristen sendiri.

Hal ini sangat berbeda dengan berdirinya agama Islam pada abad ke-7 M di tangan Dinasti Umayah, suatu dinasti pewaris klan yang dulunya paling keras menentang gerakan keagamaan dan kemanusiaan Muhammad. Begitu Muhammad dinyatakan wafat, dan jenazahnya belum dikuburkan untuk menunggu selesai masa Sabat, Konsili Tsaqifah sudah diadakan untuk menentukan patriark sesudah Muhammad. Apabila pada masa Muhammad perang dilakukan dalam rangka penyintasan dan perebutan kembali kampung halaman dari para penguasa yang melakukan kejahatan kemanusiaan, Khalifah kedua Umar mempelopori perang dalam rangka imperialisme Islam. Khalifah keempat Ali berupaya memulihkan dengan tidak melakukan segala bentuk penaklukan, tetapi ia hanya memerintah selama sekitar empat tahun. Para khalifah, kecuali Abu Bakar, dibunuh dengan keji. Hasan putra Ali yang diangkat sebagai penerus kepemimpinan spiritualnya diracun. Yang paling kejam dari semuanya, Husain putra Ali dan putra-putranya yang sedang berangkat mengungsi diblokade dari pasokan air ketika berada di Karbala, lalu dibunuh. Padahal, mereka adalah cucu dan cicit Muhammad sendiri.

Semua sejarah ini memang memilukan dan memalukan. Anda bisa menuduh saya seorang Syiah, atau seorang yang membenci Islam, setiap saya membagikan sejarah yang dapat ditemukan dalam hadis-hadis Sunni sendiri.

Ya, agama Islam mengajarkan kekerasan, bahkan bisa dikatakan mengajarkan kejahatan kemanusiaan. Mengapa Anda menyangkal ini? Mengapa Anda bersikukuh mengatakan bahwa sebagian besar teroris itu bukan beragama Islam dan yang dilakukan mereka tidak diajarkan agama Islam? Mengapa Anda berkata mereka tidak beragama atau tidak bertuhan? Mereka jelas-jelas bukan ateis dan atau agnostik. Juga, mereka bukan orang-orang Kristen yang memiliki semangat jihad kehilangan nyawa demi berdirinya negara Islam atau menghapus keberadaan orang-orang Non-Islam di dunia.  Saya tidak perlu bicara gerakan Kristen yang mendukung kejahatan kemanusiaan semacam itu, karena yang saya tahu (1) saya pernah mengikuti pengajian-pengaian Islam yang memang mengajarkan itu, dan (2) gerakan dan gereja Kristen yang disebut Radikal seperti Anabaptis justru anti kekerasan dan hidup eksklusif karena menolak wajib militer dan perang.

Saya tidak mengatakan bahwa Muhammad yang melakukan kekerasan dan mengajarkan kejahatan manusia. Dia tidak pernah melakukan kekerasan, kecuali kekerasan terhadap pelanggar kemanusiaan atau penjahat kemanusiaan. Jihad Muhammad jelas sangat berbeda dengan jihad mereka yang melakukan bom bunuh diri, yang menerapkan undang-undang syariat Islam yang zalim, dan seterusnya dan seterusnya, hal-hal yang sama sekali tidak humanis.

Anda mengatakan bukan agama yang salah, tetapi tafsir agama yang salah. Tetapi, apa yang Anda maksud dengan agama jika dalam pikiran Anda bahwa itulah yang harus dilakukan sebagai tanda Anda seorang yang beriman dan taat kepada Tuhan yang Anda imani?

Faktanya, tafsir agama ialah bagian dalam agama itu sendiri. Tafsir agama yang populer dianut menjadi citra dan identitas bagi agama itu sendiri. Ulama-ulamanya yang berfatwa menjadi marja'-marja' atau rujukan yang punya otoritas atau legitimasi. Saya tanyakan kepada Anda: Apakah yang Anda pahami dari kata “kafir” dan “mukmin”, adakah kata-kata itu merujuk kepada Non-Muslim dan Muslim? Apakah Muslim dalam Alquran yang Anda pahami ialah yang bersyahadat mengakui kenabian Muhammad atau kembali kepada makna spiritual sesuai etimologisnya?

Kekerasan dalam agama Islam dimulai dari adanya mazhab fikih yang paling banyak dianut di negara ini yang menganjurkan bayi-bayi perempuan dikhitan. Apakah ada urgensi dari khitan ini secara kesehatan maupun apakah Muhammad benar-benar menganjurkannya? Tentu saja untuk pertanyaan kedua, saya jawab TIDAK. Bahkan, khitan kepada anak lelaki juga suatu bentuk kekerasan yang dilegitimasi atas dasar keagamaan, tetapi ia masih memiliki nilai kesehatan karena pada masa lalu di negeri-negeri di mana air bersih sukar diperoleh, penyakit kelamin dapat dialami anak lelaki yang tidak memiliki akses air untuk membersihkan kemaluannya.

Kekerasan dalam agama Islam ditunjukkan pula dengan adanya dalil fikih dari hadis atau kitab fikih bahwa seorang murtad boleh dihukum mati. Dan, pengertian murtad selalu diartikan sebagai seorang yang keluar dari agama Islam. Apakah maksudnya ini? Jika tadi saya mengatakan saya seorang Kristen, meski pun gereja yang saya anut mengimani Muhammad, Ali dan 11 Imam, dan Alquran, dalam hukum ini maka darah saya halal untuk ditumpahkan. Apakah ini tidak disebut sebagai kekerasan?

Dalam dakwah Muhammad yang diabadikan dalam Alquran, Allah telah melarang murid-murid Muhammad dari merusak rumah-rumah ibadah dimana nama-nama Tuhan disebut. Tetapi, apa yang terjadi? Selalu ada pembenaran bagi sebagian Muslim, bukan hanya untuk membom atau merusak gereja, tetapi juga untuk menyegel gereja, dan menghambat orang-orang Kristen di banyak titik di negara ini dari beribadah sesuai imannya. Apakah Muhammad mengajarkan ini? Sebagai orang yang mengimani bahwa Muhammad ialah seorang Bani Israil yang mengimani Yesus Kristus – dengan kata lain seorang Kristen – saya dengan tegas meyakini Muhammad SAW tidak pernah mengajarkan hal-hal itu.

Kekristenan Timur, khususnya Kekristenan Oriental yang populer dan menjadi arus utama di tempat Muhammad hidup mengenal salat bersujud pada tiga, lima, dan tujuh waktu salat. Ketika tiba waktu salat, saat Muhammad melakukan perundingan dengan para pastor Kristen, Muhammad mengizinkan mereka salat di mesjidnya. Dan, mesjid ialah nama untuk sinagog dalam bahasa Geetz, dan bahasa Armharic saat ini. Jadi, bilamana Kekristenan mengalihfungsikan sinagog kepada gereja, maka di kemudian hari agama Islam mengalihfungsikan sinagog kepada masjid.

Apa yang didakwahkan oleh Muhammad tidaklah lain merupakan warisan dan kelanjutan dari apa yang didakwahkan oleh Musa dan Yesus Kristus. Jika ia hadir untuk menyempurnakan warisan para leluhurnya, bukan berarti ia lebih baik daripada sebelumnya sehingga menganulir ajaran sebelumnya yang masih relevan, dan bukan berarti apa yang telah ia lakukan di kemudian hari tidak akan direduksi dan dikorupsi.

Tidak ada satu pun dari mereka berdakwah untuk melakukan kekerasan, melainkan kekerasan terhadap para pelanggar dan penjahat kemanusiaan. Perang yang dilakukan Bani Israil maupun Muhammad adalah bentuk penyintasan dari kekerasan yang melanggar kemanusiaan, maupun untuk mengakhiri kejahatan kemanusiaan itu sendiri. Semua itu tidak bermaksud untuk menumpas agama lain, membuat punah kebudayaan bangsa lain, atau menghilangkan nyawa manusia yang tidak sealiran dengan kita. Tetapi, pada kenyataannya, dalam sejarah anak-anak biologis maupun anak-anak spiritual Bani Israil, mereka berperang untuk menumpas aliran lain, dan untuk imperialisme-kolonialisme, maupun untuk membalas dendam.

Jika agama Islam bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan, maka sebagaimana dicontohkan Yesus maupun Muhammad, tidak menegakkan hukum dimana para pelaku zina dicambuk ataupun dirajam. Ini adalah sangat kentara dan menyakitkan bahwa di negeri-negeri dimana syariat Islam ditegakkan, justru perempuan yang diperkosa-lah yang dicambuk atau dirajam, lalu pemerkosanya dibebaskan, atau keduanya dinikahkan. Apa namanya ini kalau bukan kekerasan? Kebenaran? Kemanusiaan? Memuliakan manusia?

Hukum Musa (Mosaic Law) yang merupakan ekstensi dari Dekalog (10 Firman Allah, Albaqarah 53), merupakan suatu warisan kode hukum tertua yang ditemukan di Mesopotamia yang telah disempurnakan oleh Musa dkk untuk konteks masanya, sehingga lebih berperikemanusiaan dan berperikeadilan dari hukum-hukum di sekitarnya yang populer seperti Hukum Assyria dan Kode Hammurabi. Hukum-hukum yang semula mengambil nyawa manusia yang melakukan pencurian, dan bentuk-bentuk lainnya yang kini dianggap tidak sesuai dengan HAM, disempurnakan dalam Hukum Musa sehingga hanya pembunuhan kepada manusialah atau ancaman bagi nyawa dan jiwa manusialah dapat diberi hukuman mati.

Yesus dan Muhammad hadir untuk memulihkan regulasi yang ditafsirkan secara melampaui batas dari Hukum Musa seperti hukuman mati bagi pelanggar Sabat, dan hukuman kepada pelaku zina, dan sebagainya.
Ketika banyak penafsir Alquran, dan banyak Muslim menggunakan hadis yang memaknai kekerasan-kekerasan semacam itu boleh dilakukan, bahkan harus dilakukan sebagai bentuk syariat Islam, maka mengapa menyangkal bahwa agama Islam tidak mengajarkan kekerasan? Para ulama dan mazhab-mazhab dalam Islam yang memiliki penafsiran yang berbeda bukan hanya kini tidak populer, tetapi juga disingkirkan dan dianggap bukan Islam. Lalu, siapa yang salah di sini?

Sebagai contoh, upaya yang dilakukan penerjemah Iran bernama Laleh atas ayat Alquran yang membenarkan suami memukul istrinya dengan memberi arti “memukul” yang bukan suatu pemukulan sama sekali. Mengapa banyak Muslim menganggap Laleh tidak cukup berkompeten untuk itu? Apakah mereka ingin tetap berapologi bahwa pemukulan itu tidak boleh keras? Ini aneh. Mana ada pemukulan yang tidak keras dan tidak menyakitkan?

Kekerasan juga dilakukan secara kejiwaan dalam ajaran yang mengatur seorang perempuan berpakaian. Tafsir lain dari ay

Sabtu, 18 Agustus 2018

"Agama berbasis kitab suci"

Dengan demikian, agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab2 suci Al-Quran dan Injil. Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. *Dikatakan bahwa Allah adalah Maha Besar atau Maha TAK TERBATAS; mana mungkin sesuatu yang Tak Terbatas (Allah, milyaran tahun) cukup dijelaskan oleh satu orang saja yang SANGAT TERBATAS (para nabi, yang umurnya mencpai k.l. 80 tahun). Jika Allah itu dari minus tak terhingga (alpha, tak tahu kapan awalnya) dan berakhir di plus terhingga (omega, tak tahu kapan berakhirnya), maka seorang manusia yang hidup di suatu range (daerah) umur yang sangat terbatas (katakan 80 tahun) adalah tidak mungkin menjelaskan secara tuntas sesuatu yang tak terhingga (milyaran tahun). Bumi dan universe sudah milyaran tahun, dan masih milyaran tahun lagi, maka seribu, sejuta atau bahkan semilyar nabi disertai ilmuwan tidak akan pernah selesai mempelajari universe dan Allah! Jadi, ke" "Mahabesaran Allah" tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal/setipis kitab suci. Ke "Mahabesaran Allah"* juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan. Pemahaman akan Allah belum selesai dan tidak akan pernah selesai. Banyak orang bijak berkata: *bukan agama yang dicari, melainkan kitab sucinya sebagai sumber agama yang dicari dan bukan kitab suci yang sangat terbatas itu yang dicari melainkan kebenaran atau Allah yang selalu dicari* Kitab suci (yang tipis sekali) beserta para nabinya adalah sangat terbatas seperti ditandaskan sendiri dalam ayat2 nya seperti telah diuraikan diatas. Disamping itu, para nabi tsb. hidup dimasa lampau dan singkat (puluhan tahun), sedangkan Allah beserta kebenaran-Nya adalah tidak terbatas waktu dan tempat serta mengacu kemasa depan (s/d saat ini saja, *bumi diduga sudah 13 milyaran tahun umurnya). Sebagai gambaran KEMAHABESARAN ALLAH*;  Seorang ahli komputer merumuskan suatu hukum yang disebut hukum *"Moore"*; ia menyatakan bahwa *setiap delapan belas bulan akan terjadi lompatan teknologi dibidang teknologi informasi*. Ia benar, ternyata komputer berkembang dari XT, AT, …., Pentium 4; demikian pula software: dari DOS, Windows 98_, _Windows XP. Manusia pun terus berkembang, dari jaman batu s/d jaman ini yang ditandai teknologi informasi dan rekayasa genetika_. _Ilmu Fisika tidak hanya berhenti pada hukum gravitasi Newton, melainkan terus berkembang misalnya teori relativitas Einstein, teori big- bang, teori fusi, cloning, nano technology, dst_. _Buku ensiklopedi yang ber-jilid2 dan tebal sekali, setiap tahun harus di up-date, mengingat hampir setiap hari ada penemuan baru di laboratorium riset di seantero dunia_. _Kalau ilmu pengetahuan, komputer berikut softwarenya, dan ensiklopedi beserta manusia penciptanya saja berkembang terus menerus dan secara cepat, apalagi Allah YME_ _Oleh sebab itu, Allah beserta kebenaran-Nya adalah dinamis, bukan statis, serta lebih banyak bergerak mengacu ke masa depan, dan tidak terlampau sering menoleh kebelakang; dengan demikian Allah adalah bukan milik atau dominasi sesuatu agama (yang seolah-olah hanya berbasis sesaat dimasa lampau), melainkan milik ruang dan waktu yang tidak terbatas dan tidak terhingga_. _Agama yang baik akan selalu ingin mencari tahu rahasia Allah yang belum terkuak; bukannya terus-menerus membelenggu, membatasi atau melecehkan Allah dengan mengatakan_: _Untuk mempelajari dan menghapalkan ke Maha Besaran Allah yang Tak Terbataskan, cukup melalui satu buku tipis saja yang disebut kitab suci; Allah itu cukup PC XT titik (statis) bukan Pentium 5 beserta penerusnya (Pentium X, dinamis, tak tahu s/d seri berapa nanti)_. _*Allah itu cukup DOS bukan Windows XP, Allah itu cukup jaman dulu dan tidak punya masa depan*_. _Agama yang negatip hanya berkutat pada nabi2 nya yang sudah dahulu kala, dan menganggap pemahaman terhadap Allah sudah dianggap selesai_. _Kemudian nabi utamanya begitu di-besar2 kan seringkali melebihi Allah itu sendiri, sehingga agama menjadi Maha Tak Terbatas (mengenal Allah cukup dengan belajar satu agama saja)*, _sedangkan Allah menjadi Maha Terbatas (cukup dijelaskan oleh satu kitab suci setebal kurang lebih 1000 halaman). Pusat ibadat dan puja-puji lalu diarahkan kepada nabi2 nya. Umat beragama lalu malas membaca hal2 yang baru terutama science, sehingga menjadi terbelakang dalam berbagai segi kebudayaan_. _Agama ditilik dari sisi organisasi dapat berbeda tujuan dengan kitab suci sumber agama itu sendiri. Kitab suci sudah menandaskan dan menyadari keterbatasan dirinya (buku setipis itu), dan KETIDAK terbatasan Allah; sedangkan agama dilihat dari sisi organisasi, terus menerus mengatakan_ *“Pelajaran tentang Allah sudah selesai, yaitu Kitab suci KITA, jadi jangan membaca kitab suci yang LAIN, apalagi pindah agama, tetaplah taat-setia kepada agamamu (=KAMI, para pengurus organisasi agama)”*. _Oleh agama yang statis-beku-kaku, kita bagaikan diminta untuk terus menerus menggunakan komputer XT dengan DOS, dan dilarang mempelajari atau menggunakan komputer Pentium 5 dengan WINDOWS XP atau LINUX, kita bagaikan diminta untuk terus menerus mempelajari hukum Newton, dan dilarang mempelajari fisika modern_. _Jadi, agama yang kaku, beku, statis justru membatasi Allah dan membatasi sesama manusia (ter-sekat2 atas nama agama) serta justru dapat menjadi sumber krisis kebudayaan_. _*Agama yang baik diharapkan menghasilkan manusia yang religius,* sekaligus cerdas dan selalu ingin lebih tahu lebih banyak lagi tentang hal yang baru (termasuk agama baru)_. _*Manusia religius tidak akan terbelenggu oleh agama* maka ia tidak takut berdoa di rumah ibadah apapun (sesuai caranya sendiri), entah itu kelenteng, masjid, gereja, pura, vihara, dst, sebab ia paham bahwa_ *_Allah tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia juga akan selalu tertarik dan mengikuti perkembangan agama2 baru serta science yang baru.

Sabtu, 11 Juni 2016

" IMAJINASIKU "


Imajinasiku
Akibatnya, kalau Tuhan mencintai seseorang, atau diterimanya ibadah (personal/sosial) seseorang oleh Allah, akan terlihat dari fisik dan jiwa orang yang bersangkutan. Cirri-cirinya, bahwa keinginan dan cita-cita orang tersebut selalu terkabul. Perjalanan hidupnya lancar, dan tidak menemui hambatan yang berarti. Kehidupannya banyak teman, sahabat, dan selalu rukun-rukun, baik dengan saudara maupun dengan orang disekitarnya. Orang tersebut terlihat ramah dan selalu menjaga sopan-santun serta bertata-krama dalam pergaulan (berbudaya). Banyak orang disekitarnya yang senang bergaul dengan dia, dan selalu menaruh rasa hormat serta sayang padanya. Sebagai catatan, orang tersebut dinyatakan sukses, tapi ukuran suksesnya bukan karena harta, kekayaan dan pangkatnya, tapi ada sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang. Malah dalam keberhasilan, termasuk orang yang biasa saja, wajar dan sederhana. Itulah orang yang disayang oleh Tuhan (menurutku). Karena, pada prinsipnya orang yang sudah disayang oleh Tuhan tidak membutuhkan materi yang berlebih, cukup seperlunya saja. Kalau yang aku simpulkan diatas adalah ciri-ciri (‘akibat’) disayang oleh Tuhan. Terus ada pertanyaan ‘sebab’ apa orang tersebut sampai dicintai dan disayang Tuhan? Mengenai penyebab orang disayang dan dicintai oleh Tuhan, banyak faktor, tidak hanya satu sebab saja. Kehidupan di dunia ini tak lepas dari hukum “sebab-akibat” atau lebih tepat dan luasnya adalah hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan Sekalian Alam. Apa yang dipanen hari ini, adalah apa yang ditanam hari kemarin, kalau ada malam (gelap), karena ada siang (terang), setelah ada kesulitan, pasti ada kemudahan dan seterusnya. Orang tersebut disayang oleh Allah bukan karena meminta supaya dikasihi atau disayangi, tapi kerena dia menebar benih kasih dan sayang disekitarnya, dipergaulannya, dilingkungannya. Mungkin juga orang tersebut menjalankan visi dan misi yang diemban sebagai kalifah di muka bumi ini, dan menjalankan kewajiban (darma) sebagai mahkluk yang dihidupkan dan dihidupi oleh yang Maha Kuasa. Dan masih banyak lagi “penyebab-penyebab” lain, hingga seseorang dikasihi dan disayangi oleh Tuhan. Untuk itu sebagai mahkluk yang diciptakan, dan dibekali serta dilengkapi sarana dan prasarana yang melekat maupun tidak melekat, hendaknya bisa tanggap dan bisa menangkap kehendak Allah. Tidak semua orang bisa membaca ayat-ayat sosial yang tertulis dialam semesta ini, sekalipun orang tersebut pandai membaca ayat-ayat suci. Itulah ragam dan cara untuk mendapat ridho dari yang maha kuasa, jadi jangan ngotot, seolah-olah Allah hanya menyiapkan satu jalan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Kalau sampai ada seseorang atau sebuah komunitas yang ngotot hanya jalan yang dilalui yang benar, dan jalan lain salah. Itu menunjukkan kesempitan wawasan yang dimiliki, dan tidak bisa membaca isyarat yang ditunjukkan oleh Tuhan lewat alam semesta ini. Supaya disadari, bahwa untuk menuju Kota Roma itu ada seribu jalan, ini pepatah sederhana yang bermakna, untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran itu banyak cara dan jalannya. Satu Tuhan itu ada seribu tafsir, artinya, imajinasi manusia tentang Tuhan itu berbagai macam, dan masing-masing orang boleh menafsirkan Tuhannya itu seperti apa? Dan Tuhan justru memberi kebebasan terhadap manusia sesuai kemampuannya untuk menafsirkan Tuhannya seperti apa? Tentunya sesuai kemauan dan kemampuan yang dimiliki orang yang bersangkutan. Tuhan tidak memaksakan terhadap manusia untuk mengakui kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki, khususnya terhadap alam semesta ini. Semua orang, semua penghuni alam semesta ini mengakui keberadaan Tuhan, dan tidak perlu digembar-gemborkan secara berlebihan, yang membuat sebuah propaganda. Tuhan tidak butuh propaganda usang, Tuhan butuh manusia yang bisa/mau meningkatkan harkat martabat kaumnya, mengisi alam semesta ini yang berguna dan bermanfaat bagi penghuni lainnya. Tidak merusak alam, dan tidak membuat keonaran yang merusak tatanan manusia yang butuh ketenangan dan ketentraman. (stop). 

Jumat, 10 Juni 2016

" NGAYOMI lan NGAYEMI "



Ngayomi lan ngayemi(melindungi dan menentramkan)
Keluarga itu bisa terdiri dari anak, bapak dan ibu, tapi juga bisa sebuah negara yang terdiri dari rakyat, kepala negara, lembaga negara dan lain-lain, yang punya tugas dan fungsi berbeda-beda. Keluarga bernaung dalam sebuah rumah, yang ada sekat-sekatnya, ada kamar tidur, ada kamar mandi, ada dapur dan juga kamar tamu. Masing-masing kamar punya fungsi yang berbeda, dan punya batas yang nyata, bukan berupa sekat atau dinding saja, tapi batas etik yang tidak boleh dilanggar. Kalau sudah ada dapur tentunya tidak boleh masak di ruang tamu, kalau sudah ada kamar tidur tidak boleh tidur di ruang tamu, dan seterusnya. Sementara pemerintah bernaung dalam sebuah negara yang dilengkapi berbagai kementrian, dan berlakunya berbagai ketentuan yang berupa peraturan atau perundang-undangan, yang berarti adanya batas-batas yang harus dipatuhi oleh setiap lembaga negara. Bila ada aparat, atau lembaga negara yang merasa punya kebebasan dalam kewenangan yang melampui batas wilayahnya, tentunya menjadi janggal dan aneh. Tinggal rakyat bertanya dan heran, kenapa ada bagian dari sebuah keluarga yang arogan dan mentang-mentang dalam bersikap dan bertindak? Tentunya hal demikian menjadi pelanggaran terhadap sebuah ‘nilai yang telah disepakati bersama, baik tertulis yang berarti sebuah undang-undang atau tidak tertulis sebagai bentuk etika dalam sebuah keluarga. Sebagai bangsa yang masih menjujung norma dan etika tentunya pelanggaran yang dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja akan menjadi sebuah ‘tamparan’ terhadap mukanya sendiri, kata lain memalukan. Tapi rasa malu, rasa ewuh-pakewuh dan rasa sungkan itu sekarang jadi barang langka dan mahal harganya. Hanya orang yang mampu dan berpunya yang masih memiliki rasa-rasa tersebut, sementara orang yang dianggap mampu dan berpunya jumlahnya sangat sedikit, dan adanya di daerah, mungkin dipelosok. Yang dimaksud orang mampu dan berpunya adalah orang yang punya kelengkapan sebagai pribadi normal. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai orang yang ‘mumpuni’ kata mumpuni menyiratkan seseorang yang segalanya mampu dan bisa, juga sebagai pribadi yang ‘lebih’ diatas rata-rata orang kebanyakan. Seorang pemimpin harus ‘mumpuni’ dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, tugas seorang pemimpin salah satunya me-‘ngayomi’ bawahannya atau rakyatnya. Kata me-ngayomi tidak sekedar melindungi tapi juga harus bisa menciptakan suasana yang tentram (ngayemi) dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah keluarga, juga sebuah pemerintahan hendaknya diketuai atau dikepalai oleh seseorang yang ‘bijak’ dan ‘mumpuni’ sehingga dia bisa ‘ngayomi dan ngayemi’ anggota keluarganya. Tanpa punya sifat mengayomi dan ngayemi yang dimiliki seorang pemimpin, anggota keluarga akan merasa was-was dan gamang dalam kehidupannya. Sedemikian juga kehidupan sebuah negara, apa bila pemimpinnya tidak bisa menciptakan rasa aman pada rakyatnya, akan dipertanyakan. Rakyat sangat membutuhkan rasa aman dan tentram dalam kehidupan yang dilalui setiap hari, baik dalam menjalankan aktifitasnya maupun menyongsong masa depannya. Pada zaman dahulu, raja-raja yang menguasai sebuah kerajaan dituntut punya kahrisma dan wibawa yang membuat rakyatnya patuh dan tunduk (hormat), sehingga tercipta suasana damai dalam kehidupan sehari-hari. Dengan wibawa yang dimiliki seorang raja, rakyat atau bawahan tidak berani melakukan tindakan yang bersifat melawan, semua tunduk dan patuh. Sehingga hanya satu perbuatan yang dilakukan, ialah; ‘mengabdi’. Pengabdian bukan sesuatu yang kaku dan mati, akan tetapi rakyat meyakini, dengan mengabdi pada raja secara tulus dan iklas akan mendatangkan kebahagian dan kepuasan sebagai seorang abdi dalem. Raja akan melakukan perlindungan dan pengayoman pada rakyatnya, apa bila rakyat mau melakukan pengabdian dengan tulus pada rajanya. Kalau boleh aku simpulkan (kemungkinan) sebuah kerajaan yang besar sekalipun, raja dalam memimpin menggunakan azas kekeluargaan. Maksudnya, antara raja dan rakyatnya terjalin hubungan kekeluargaan, walaupun hanya secara batiniyah, artinya, tidak selalu berdekatan tapi cukup dihatinya saja. Dengan dasar semacam itu, timbullah rasa saling menyayangi, karena ada rasa timbal balik (take and give), rakyat membutuhkan pengayoman, dan raja membutuhkan rakyat iklas dalam pengabdian. Rasa keiklasan kedua belah pihak inilah yang membuat kukuhnya persatuan dan kesatuan sebuah bangsa atau keluarga. Dalam kehidupan berdemokrasi sekarang ini, sesungguhnya memberi hak lebih banyak pada rakyat, karena dalam kepemimpinan raja bersifat absolute (mutlak). Keseimbangan hak, antara yang memimpin dan yang dipimpin menjadi target utama dalam berdemokrasi, sementara hasil yang ingin dicapai adalah sama, ketentraman dan kedamaian rakyat dalam sebuah negara atau keluarga. Perkembangan zaman telah berobah, dahulu rakyat melayani raja, sekarang aparat melayani rakyatnya. Tentunya bentuk pelayanan yang dimaksud bukan dalam arti langsung, tetapi ada mekanisme yang dijalankan sesuai prosedur dan tata kelola yang dianut dalam sebuah instansi. Contohnya dalam hal kebutuhan pangan, bukan berarti aparat menyediakan makanan pada rakyat, tetapi cukup tersedianya bahan makanan yang dibutuhkan. Juga kebutuhan tentang kesehatan masyarakat, cukup tersedianya rumah sakit atau pusat kesehatan yang dilengkapi obat dan dokter sebagai penunjang kesehatan rakyat dalam sebuah kota. (Itulah harapan rakyat pada pemimpinnya, bisa ngayomi dan ngayemi).                                                                          

Kamis, 09 Juni 2016

" TUHAN SANG PENCIPTA "



Tuhan sang pencipta
Ternyata yang namanya manusia itu sudah didesign oleh Tuhan sedemikian unik dan komplitnya, tapi jarang orang yang menyadari bahwa dirinya telah dilengkapi oleh berbagai unsur sebagai alat bantu (pelengkap) yang dibutuhkan. Setiap manusia yang akan dilahirkan kedunia, pada usia empat bulan dalam kandungan sudah dihembuskan sebuah ‘roh’ oleh Tuhan. Dan roh (sukma/nyawa) itu berupa pancaran sinar Tuhan, yang memiliki sifat-sifat Tuhan dan selanjutnya akan melekat pada roh/nyawa/sukma manusia tersebut. Sementara yang namanya ‘Jiwa’ setiap manusia yang lahir di dunia otomatis punya jiwa (watak/ karakter) yang terdiri dari empat unsur, dan setiap unsurnya mewakili sifat ‘tanah, api, angin dan air.’ Karena tubuh/ raga manusia terbuat dari empat unsur tadi, maka sifat/ karakter yang ada sesuai dengan bahan bakunya (materialnya). Dan yang jelas watak (karakter) orang tuanya ‘temurun’ pada anak keturunannya, karena anak itu refleksi orang tuanya (ibarat buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya). Dalam kepercayaan Jawa atau ‘Kejawen’ setiap manusia sejatinya selalu didampingi oleh saudara kembarnya, atau istilah lain; setiap orang itu ada yang ‘momong’ (yang memelihara), yaitu sedulur papat, lima pancer.” Yang dimaksud ‘sedulur papat’ itu, ya’ jiwa yang ada, yang terdiri dari empat unsur tadi (tanah, api, air dan udara). Sementara yang dimaksud ‘sedulur pancernya’ adalah ‘roh’ yang memiliki sifat-sifat Tuhan (kebenaran, kebaikan, kejujuran dan seterusnya). Setiap unsur yang ada pada ‘jiwa’ selalu ada plus dan minusnya, tapi roh/sukma/nyawa yang memiliki sifat Tuhan selalu mengajak setiap unsur untuk memunculkan sifat positifnya. Contoh sifat ‘api’ (salah satu unsur dalam jiwa manusia) itu panas (membara), roh mengajak/ menganjurkan/ mengarahkan sifat itu dimunculkan pada saat yang tepat, jangan setiap persoalan dihadapi dengan jiwa (sifat) yang panas dan membara, dan seterusnya. Pada tingkatan tertentu, roh/sukma/nyawa yang dihembuskan pada raga manusia bisa mengendalikan empat unsur yang menjadi sebuah ‘kesatuan’ dalam jiwa manusia. Jadi bagi seseorang yang jiwanya terkendali, menunjukkan bahwa roh yang bersemayan dalam tubuhnya bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Karena pancaran sinar Tuhan yang ada pada nyawa (roh) manusia bisa mewakili sifat-sifat Tuhan secara nyata (langsung), dan tentunya tindak-tanduknya sesuai sifat yang dimiliki-Nya. Namun semua itu tidak ‘ujuk-ujuk’ atau otomatis, harus ada latihan dan kebiasaan agar roh bisa mengontrol (mengendalikan) jiwa yang dipengarui empat unsur tadi. Disamping roh yang ada pada setiap manusia, Tuhan juga memerintahkan dua malaikat untuk mengawasi setiap gerak dan tingkah laku seorang manusia (ada istilah lain, mencatat kelakuan setiap manusia). Dalam kepercayaan Nasrani (?) manusia atau orang itu ‘digembalakan’ oleh dua malaikat. Jadi, sebagai manusia yang dilahirkan dengan kelengkapan yang sedemikian komplitnya, mestinya’ berkelakuan baik dan benar sesuai harapan pencipta-Nya. Sensor atau sinyal-sinyal yang melengkapi ‘wadag ' (tempat bersemayamnya roh dan jiwa) manusia sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh pencipta-Nya, tapi penyimpangan perbuatan yang tidak diridho’i dan tidak pantas tetap dilakukan oleh yang namanya manusia. Hal demikian sangat memprihatinkan dan apakah penyebabnya, hingga kadang-kadang kita mendengar ada perbuatan manusia yang diluar batas kemanusiaan. Atau melakukan perbuatan yang merusak lingkungan dan merugikan mahkluk lain, bahkan bangsanya (kaumnya) sendiri. Setelah roh kembali pada alamnya (dipanggil Tuhan?) yang berarti orang tersebut sudah meninggal, jiwanya pun lenyap bersama tidak berfungsinya organ tubuh yang rusak. Dan ‘wadag/ raga/ fisik’ manusia yang terbuat dari air, tanah, udara dan api sudah tidak bisa berkerja atau tidak berfungsi, maka sifat-sifatnya pun tidak berperan lagi. Dalam kepercayaan Hindhu/ Budha (?) Roh yang sudah kembali atau dipanggil oleh Tuhan suatu saat akan ditiupkan kembali pada janin yang ada dalam kandungan seorang ibu. Roh yang dihembuskan pada janin seperti bilangan ‘0’ (nol/ kosong/ suwung), bukan tidak ada, tapi dalam kondisi bersih dan suci, yang belum terisi oleh apapun. Walaupun roh tersebut sebelumnya pernah bersemayam pada jasad manusia, tapi saat ditempatkan/ dihembuskan pada janin berikutnya selalu memulai dari awal (0). Bagaikan mesin hitung yang selalu berawal dari angka ‘nol’ sekalipun sebelumnya banyak penjumlahan yang sudah dilakukan dan mungkin sampai jutaan dan milyardan, tapi akan kembali pada hitungan awal (0). Proses semacam ini bisa disebut ‘proses daur ulang’ karena ada kaitannya dengan kelahiran kembali, maka disebut juga ‘rheekarnasi’ atau ‘penitisan’ (Jawa), itulah hukum alam yang mungkin berlaku bagi semua mahkluk yang ada dibumi. Roh yang akan ditiupkan pada janin baru, sudah diproses sesuai ‘amal dan perbuatan’ yang sudah dilakukan. Dalam kepercayaan Hindhu/ Budha (?) ‘Karma’-lah yang akan menentukan kehidupan berikutnya. Dalam kepercayaan Hindhu/ Budha (?) kehidupan manusia dibumi ini ada ‘kasta-nya (tingkatan). Jadi dengan ‘karma’ (amal dan perbuatan) seseorang akan menentukan tingkatan derajat (kasta) kehidupan berikutnya. Roh yang dihembuskan pada janin berikutnya saat lahir akan merasakan suasana yang baru (makanya setiap bayi yang lahir selalu menangis), dan kelahiran kembali tersebut selalu tidak disadari oleh roh yang bersangkutan. Jadi surga dan neraka itu (sudah) tercipta di bumi ini, oleh karena kehidupan dibumi yang berulang (seperti-cakra panggilingan), dan kehidupan berikut selalu didasarkan pada perbuatan kehidupan sebelumnya. Roh yang tidak bisa mengendalikan ‘jiwa’ dengan baik  akan ditempatkan pada derajat yang lebih rendah, di lingkungan yang dihuni oleh ‘kasta’ rendah, disitu mungkin tidak ada peradaban, dan mungkin itulah yang disebut neraka. Jadi, tidak perlu menunggu alam ini hancur baru diadakan pengadilan, lalu ada yang dimasukan keneraka dan ada juga yang dimasukan kesurga. Rasanya Tuhan tidak perlu menghancurkan alam semesta ini, khususnya bumi, yang prosesnya butuh waktu milyardan tahun. Cukup membuat sistem (dalil) yang bekerja secara otomatis, yaitu hukum alam (proses daur ulang). Dan tentunya Tuhan tidak bersifat sebagai penyiksa dan penganiaya seperti yang digambarkan oleh agamawan-agamawan dalam kotbahnya. Konon, bagi orang yang tidak mengakui adanya Tuhan akan dimasukkan kedalam neraka (yang berarti disiksa), dan bagi yang rajin menyembah dan memuja Tuhan akan dimasukkan kedalam surga, dan seterusnya. Hari akhir yang dimaksud dalam kitab suci, (mungkin) akhir hayat seseorang, dan ini memang sesuatu yang harus diyakini (di-imani), karena semua tidak ada yang abadi (ada, life time-nya), semua akan berakhir. Akhirat adalah tempat penantian, atau proses evaluasi yang dilakukan oleh Tuhan terhadap roh yang punya misi kedunia, sebelum memberi misi (tugas) berikutnya dengan cara dihembuskan kembali pada janin. Tuhan tidak bisa diindentikkan punya sifat seperti yang dimiliki manusia, karena matrial Tuhan tidak seperti matrialnya manusia. “Wah, pak De jangan sembarangan menyampaikan pemahaman semacam itu pada orang, nanti dianggap menyimpangkan ajaran agama atau penyesatan” kata Leo, yang dijawab oleh pak De, “zaman sekarang adalah zaman kebebasan, setiap orang boleh menyampaikan pendapatnya dan itu syah. Apa yang aku sampaikan bukan pahamku, tapi pahamnya ‘Syeh Siti Jenar’ yang aku ketahui dari buku yang dijual secara bebas. Dan menurutku, pemahaman semacam itu hanya sebagai khasanah atau pengetahuan yang mungkin malah mempertebal keimanan kita.” Jadi kita dibolehkan mengetahui paham orang, dan malah dianjurkan, supaya kita bisa membuat perbandingan, antara paham yang kita anut dan paham orang lain. Hal ini juga sebagai bahan koreksi dan intropeksi untuk kita, tentang keimanan dan agama yang kita anut. Dan sesungguhnya setiap orang sudah punya keyakinan masing-masing, tapi keyakinan itu didapat dari menyontoh/ meniru orang lain. Dan kebenaran yang sejati itu sesungguhnya ada dimana? dan bagaimana? itu yang harus kita gali dan kita cari terus, dan itulah proses. Sepanjang proses itu masih berlangsung, itulah kehidupan. Mungkin kebenaran saat kemarin, tidak benar saat sekarang, dan kebenaran saat sekarang mungkin kesalahan saat nanti. Dan itulah ‘cakra panggilingan’ (proses daur ulang) yang dalam dunia pewayangan dikatakan demikian, dan dunia nyatapun memang demikian adanya. “Kalau mendengar uraian pak De, manusia yang dilahirkan di negara yang selevel Indonesia berarti ditempatkan di neraka? Sementara surga itu seperti negara Finlandia, Luksemburg, Islandia, Selandia Baru dll yang negaranya makmur dan tentram?” yang di jawab oleh pak De, “bisa jadi, mengingat negara kita suasananya semrawut tidak karuan, tidak ada kerukunan antarumat beragama, korupsi merajalela, radikalisme membabibuta dan setiap orang hanya memikirkan dirinya dan kelompoknya. Ini cermin kehidupan dineraka jahanam, sementara orang yang ‘dihidupkan’ disurga bisa menikmati pertandingan bola dengan damai, kehidupan yang tentram, keluarga yang harmonis, lalu lintas di jalan rayanya tertib dlsb.” (Astafirullah).

Selasa, 07 Juni 2016

"PERANG BUDAYA"

Ini mungkin kata yang paling tepat untuk mengevaluasi keadaan sekarang, dimana budaya luar/asing (kebebasan dlsb) telah menjadi trendnya anak-anak muda sekarang. Sementara budaya yang ada, tidak dipelajari, ditinggalkan, dan malah tidak diakui. Dengan kebebasan berarti lepas dari sebuah tanggung jawab, yang (justru) seharusnya menjadi tugas dan kewajiban sebuah generasi supaya melestarikan dan melanjutkan. Bagi sebuah negara bangsa yang menjunjung tinggi budayanya (Jepang, Korea, China dll) akan terlihat jati dirinya, tapi bagi bangsa yang tidak bisa mempertahankan nilai-nilai budaya nenek moyangnya akan terlihat sebuah ‘kegamangan.’ Kegamangan sebuah bangsa, berarti kerapuhan sebuah negara. Kebesaran sebuah negara bukan ditentukan oleh luasnya wilayah atau banyaknya penduduk, tapi telihat dari jati dirinya bangsa yang bersangkutan. Makin nyata jati dirinya sebuah bangsa, makin terlihat besarnya sebuah negara, dan kesuraman jati diri sebuah bangsa berarti kerapuhan sebuah negara. Indonesia termasuk negara yang rapuh, karena suramnya jati diri bangsa yang disebabkan oleh mudahnya menerima budaya asing. Walaupun terlihat beberapa daerah yang masih kental akan kultur dan budaya lokalnya, tapi kalau generasi muda berikut tidak sadar dan tidak sensitif terhadap gejala yang ada, maka jangan harap kita bisa bertahan dalam gelombang kebebasan yang akan melibas budaya kita. Terbukti banyak daerah yang telah meninggalkan budaya lokalnya (nenek moyangnya) dan dicemari oleh pendatang, yang akhirnya budaya asing lebih ditonjolkan. Keputusan berupa himbauan Gubenur DKI, bahwa satu hari dalam seminggu pegawai DKI wajib memakai pakaian adat Betawi dan menganjurkan pada murid sekolah di wilayah DKI, saat pengumuman UN diwajibkan memakai pakaian tradisioanal, itu arahnya untuk mempertegas jati diri sebuah bangsa. Dan ini menjadi sebuah gebrakan yang harus dicontoh daerah lain, dan tentunya Jakarta sebagai Ibu Kota negara menjadi kiblatnya provensi-provensi yang ada di Indonesia. Kebo nyusu gudel ini sebuah ‘ungkapan’ orang Jawa yang berupa sindiran, bahwa zaman telah berubah, tapi perubahan yang tidak masuk akal dan sebuah kejanggalan. ‘Gudel’ itu anak kerbau, tapi kenapa justru kerbau (ibu) menyusu pada anaknya? Kenyataan yang ada sekarang memang demikian, orang tua justru menurut pada anaknya, kalau dulu anak wajib mengikuti petunjuk dan arahan orang tua. Sekarang terbalik, orang tua yang mengikuti keinginan anaknya dan kalau tidak dituruti anaknya yang ngambek dan marah. Ini fakta yang ada dilapangan, bahwa tradisi dan budaya yang ada telah digantikan oleh sebuah ‘kesalah-kaprahan’ (salah yang dibenarkan). Terjadinya “perang budaya” ini karena Dept. Pendidikan dan Dept. Agama tidak menyadari bahwa kebudayaan yang ada ‘tidak’ menjadi dasar pijakan dalam proses belajar. Anak didik dalam menyerap/menimba ilmu ‘harus’-nya berorientasi pada budaya yang ada dan hasil proses belajar ‘harus’ menghasilkan anak didik yang bisa memperjelas jati diri bangsa. Mungkin banyak yang bertanya, apa sih nilai-nilai luhur (budaya) bangsa Indonesia? Menurut penulis budaya bangsa (nilai-nilai luhur) kita itu dari hal yang sepele, kecil, perorangan sampai dalam sebuah komunitas. Masyarakat dalam kelompok kecil, sedang, hingga sebuah bangsa. Dalam hal ini termasuk cara berpakaian, contoh; baju batik, kebaya, baju kurung, kain songket, ulos dan lain-lain. Kalau hal yang kecil dan perorangan, saat bertutur kata, atau dalam pergaulan; sopan-santun, ramah tamah, hormat pada orang tua dan orang yang lebih dewasa, termasuk menghargai orang lain dan orang yang lebih tua dengan sebutan; mas, mbak, paman/pak cilik/pak gede, bibi/bu lik/bu de, dan lain-lainnya. Untuk kelompok masyarakat, adanya kekompakan (keguyuban) masyarakat desa dalam mendirikan rumah, membuat jalan/jembatan, membersihkan lingkungan yang popiler disebut ‘kerja bakti.’ Dalam skala yang lebih besar, masyarakat kita terbiasa memusyawarahkan program-program kampung/desa dengan sebutan yang cukup terkenal dengan ‘rembug desa.’ Dimana dalam prosesnya yang menjadi keinginan masyarakat dalam sebuah kampung/desa selalu dimusyawarahkan dulu, bukan diinstruksikan oleh pimpinan sebuah kampung/desa. Dalam pelaksanaannya masyarakat yang ada selalu dilibatkan dan itulah yang disebut “gotong royong” dan inilah sari pati’-nya Pancasila yang menjadi rohnya bangsa kita. Dan ini semua kalau diuraikan dan diimplementasikan dalam proses belajar disekolah, baik yang formal maupun nonformal akan menghasilkan generasi yang menjadi harapan bangsa. Saya tidak punya keahlian dalam dunia pendidikan, tapi bisa merasakan, bahwa pendidikan (termasuk pendidikan agama) yang ada sekarang tidak bisa menghasilkan generasi yang ber-‘jati diri’ dan tidak bisa memilah, bahwa ini budaya asing yang tidak tepat dan tidak sesuai. Bila hal ini dijalankan dalam lingkungan kita akan mencemari budaya/kultur yang sudah ada, apalagi nilainya lebih rendah. Apakah pantas menggantikan budaya yang jelas-jelas lebih tinggi nilainya kok digantikan dengan nilai yang lebih rendah? hanya semata-mata diiming-imingi sesuatu yang tidak masuk akal. Budaya ‘adhi luhung’ yang kita miliki tidak dijadikan dasar dalam mendidik anak didik supaya bersikap dan bertindak-tanduk seperti yang diinginkan dan diharapkan kultur/budaya yang akan mewujudkan ‘jati diri’ sebuah bangsa. Justru semua yang sudah kita miliki tergerus oleh budaya asing yang dianggap lebih mulia, lebih bermartabat, atau mendatangkan pahala dan dijamin masuk surga (?). Disinilah sebab-musababnya, dikarenakan, pendidikan yang tidak berorientasi pada pembentukan sebuah karakter bangsa akhirnya tersesat pada jalan lain. Lihat negara-negara timur tengah, hampir semua mengalami perang saudara, apakah kita tidak bangga dengan budaya yang ada pada negara kita sendiri? Yang menekankan kerukunan, persaudaraan, kerja sama, gotong-royong, silih asah, silih asuh dan silih asih. Masa kita mau mengikuti jejak mereka, rasanya terbalik, mestinya mereka yang belajar dan mengikuti kita. Peradaban kita sesungguhnya jauh lebih maju dari mereka, hanya karena ‘oknum-oknum tertentu yang memutar balikkan fakta, dan sebaiknya jangan terpengaruh dong…… (Sekian dulu).