Akibatnya, kalau Tuhan mencintai seseorang, atau diterimanya ibadah (personal/sosial) seseorang oleh Allah, akan terlihat dari fisik dan jiwa orang yang bersangkutan. Cirri-cirinya, bahwa keinginan dan cita-cita orang tersebut selalu terkabul. Perjalanan hidupnya lancar, dan tidak menemui hambatan yang berarti. Kehidupannya banyak teman, sahabat, dan selalu rukun-rukun, baik dengan saudara maupun dengan orang disekitarnya. Orang tersebut terlihat ramah dan selalu menjaga sopan-santun serta bertata-krama dalam pergaulan (berbudaya). Banyak orang disekitarnya yang senang bergaul dengan dia, dan selalu menaruh rasa hormat serta sayang padanya. Sebagai catatan, orang tersebut dinyatakan sukses, tapi ukuran suksesnya bukan karena harta, kekayaan dan pangkatnya, tapi ada sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang. Malah dalam keberhasilan, termasuk orang yang biasa saja, wajar dan sederhana. Itulah orang yang disayang oleh Tuhan (menurutku). Karena, pada prinsipnya orang yang sudah disayang oleh Tuhan tidak membutuhkan materi yang berlebih, cukup seperlunya saja. Kalau yang aku simpulkan diatas adalah ciri-ciri (‘akibat’) disayang oleh Tuhan. Terus ada pertanyaan ‘sebab’ apa orang tersebut sampai dicintai dan disayang Tuhan? Mengenai penyebab orang disayang dan dicintai oleh Tuhan, banyak faktor, tidak hanya satu sebab saja. Kehidupan di dunia ini tak lepas dari hukum “sebab-akibat” atau lebih tepat dan luasnya adalah hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan Sekalian Alam. Apa yang dipanen hari ini, adalah apa yang ditanam hari kemarin, kalau ada malam (gelap), karena ada siang (terang), setelah ada kesulitan, pasti ada kemudahan dan seterusnya. Orang tersebut disayang oleh Allah bukan karena meminta supaya dikasihi atau disayangi, tapi kerena dia menebar benih kasih dan sayang disekitarnya, dipergaulannya, dilingkungannya. Mungkin juga orang tersebut menjalankan visi dan misi yang diemban sebagai kalifah di muka bumi ini, dan menjalankan kewajiban (darma) sebagai mahkluk yang dihidupkan dan dihidupi oleh yang Maha Kuasa. Dan masih banyak lagi “penyebab-penyebab” lain, hingga seseorang dikasihi dan disayangi oleh Tuhan. Untuk itu sebagai mahkluk yang diciptakan, dan dibekali serta dilengkapi sarana dan prasarana yang melekat maupun tidak melekat, hendaknya bisa tanggap dan bisa menangkap kehendak Allah. Tidak semua orang bisa membaca ayat-ayat sosial yang tertulis dialam semesta ini, sekalipun orang tersebut pandai membaca ayat-ayat suci. Itulah ragam dan cara untuk mendapat ridho dari yang maha kuasa, jadi jangan ngotot, seolah-olah Allah hanya menyiapkan satu jalan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Kalau sampai ada seseorang atau sebuah komunitas yang ngotot hanya jalan yang dilalui yang benar, dan jalan lain salah. Itu menunjukkan kesempitan wawasan yang dimiliki, dan tidak bisa membaca isyarat yang ditunjukkan oleh Tuhan lewat alam semesta ini. Supaya disadari, bahwa untuk menuju Kota Roma itu ada seribu jalan, ini pepatah sederhana yang bermakna, untuk mencapai sebuah tujuan atau sasaran itu banyak cara dan jalannya. Satu Tuhan itu ada seribu tafsir, artinya, imajinasi manusia tentang Tuhan itu berbagai macam, dan masing-masing orang boleh menafsirkan Tuhannya itu seperti apa? Dan Tuhan justru memberi kebebasan terhadap manusia sesuai kemampuannya untuk menafsirkan Tuhannya seperti apa? Tentunya sesuai kemauan dan kemampuan yang dimiliki orang yang bersangkutan. Tuhan tidak memaksakan terhadap manusia untuk mengakui kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki, khususnya terhadap alam semesta ini. Semua orang, semua penghuni alam semesta ini mengakui keberadaan Tuhan, dan tidak perlu digembar-gemborkan secara berlebihan, yang membuat sebuah propaganda. Tuhan tidak butuh propaganda usang, Tuhan butuh manusia yang bisa/mau meningkatkan harkat martabat kaumnya, mengisi alam semesta ini yang berguna dan bermanfaat bagi penghuni lainnya. Tidak merusak alam, dan tidak membuat keonaran yang merusak tatanan manusia yang butuh ketenangan dan ketentraman. (stop).
Senin, 23 Mei 2016
Senin, 16 Mei 2016
"Islam NUsantara . . . . "
“ I S L A M N U S A N T A R A “
- (Orang) Muslim yang punya peradaban dan berbudhi-pekerti luhur, serta mengutamakan kemuliaan dalam kehidupannya (beraklak mulia dalam perikehidupannya).
- (Orang) Muslim yang menjalankan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadikan tata-krama sebagai dasar dalam pergaulan.
- (Orang) Muslim yang ramah, (sopan) santun, terbuka dan ber-(teposliro) toleransi dengan sesama manusia disekitarnya (dilingkungannya).
- (Orang) Muslim yang menjunjung tinggi kemuliaan sebagai tujuan berbangsa dan bernegara.
- Orang (Muslim) yang menyadari bahwa agama itu bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Orang (Muslim) yang sadar bahwa keyakinan seseorang tidak bisa dipaksakan oleh siapapun termasuk negara.
- Orang (Muslim) yang menjahui tindakan kekerasan dan pemaksaan kehendak.
- Orang (Muslim) yang menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan sebagai bentuk andil pada perdamaian (ketertiban) dunia.
- Orang (Muslim) yang mengakui NKRI sebagai tumpah darahnya dan Pancasila sebagai dasarnya (sudah final).
- Orang (Muslim) yang mengakui bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang taat pada UUD’45 (sudah final).
“Uraian Islam Nusantara”
-Sesungguhnya bangsa (Indonesia) Nusantara dari dulu sudah mengenal peradaban yang jauh lebih maju dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Masyarakat (Indonesia) Nusantara sejak kecil sudah di didik oleh orang tuanya tentang budhi-pekerti yang baik dan terpuji. Maknanya, bahwa manusia yang beraklak mulia itu orang yang perbuatan dan perilakunya tidak merugikan dirinya dan orang lain. Jadi mereka beraklak mulia bukan dinilai karena menjalankan ibadah ritual agamanya, tapi dinilai dari perilaku dan perbuatannya yang baik dan terpuji, dan diakui oleh norma ataupun adat budaya yang ada dilingkungannya. Dan ini menjadi tututan setiap orang yang hidup di Nusantara berkewajiban berperilaku baik dan terpuji. Pembentukan karakter /pribadi/nurani dilakukan oleh setiap keluarga terhadap keturunannya, dengan target supaya nanti menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara (lingkungan). Pendidikan nurani (budhi-pekerti) meliputi dan mengenalkan tentang tata-cara dalam bertutur-kata (tata-krama), yang bertujuan menghormati/menghargai orang lain, atau orang yang lebih tua (sopan-santun). Pendidikan nurani (budhi-pekerti) juga mengenalkan perilaku dan perbuatan yang mulia, sesuai norma, estetika dalam budaya yang berlaku di sebuah komunitas. Orang (muslim) Nusantara mendasarkan kehidupan ini pada norma/etika dan budaya peninggalan nenek moyangnya yang sudah terbukti bermanfaat pada dirinya dan lingkungannya. Norma, etika dan budaya yang ada meliputi ‘tata-krama’ dalam pergaulan, dan sikap serta tindak-tanduk (aklak) yang harus menjunjung tinggi sebuah kemuliaan (terpuji). Orang (muslim) Nusantara sadar dan eling bahwa hidup ini membawa misi (tugas) mulia, sebagai bentuk ‘darma baktinya’ makluk ciptaan terhadap yang memberi hidup dan yang menghidupi, ialah Allah. Orang (muslim) Nusantara punya sejarah panjang dalam menjalankan kehidupan beragama, khususnya agama Islam. Bukti bahwa saat itu masyarakat Nusantara sudah banyak memeluk agama Islam, dan punya pemahaman yang sangat mendalam dalam memahami ajaran agama Islam, bisa dibuktikan. Dengan banyaknya peninggalan masa lalu yang menunjukkan orang Nusantara (belum Indonesia) telah mengenal dan menjalankan syariat Islam, tapi tidak dipamerkan atau menjadi sebuah (ria) propaganda. Karena sifat orang saat itu, di Nusantara, khususnya di pulau Jawa lebih pada (hakekat) implementasinya dari pada sekedar simbolnya. Jadi pemahaman disini, jangan diklasifikasikan asli dan tidak asli, tapi kedalaman pemahaman itu yang menjadi tolok ukurnya. Saat sekarang dalam menjalankan ajaran agama hanya sampai pada syariatnya saja, atau simbolnya (kulitnya) saja, sementara hakikatnya tidak tersentuh. Karena penyampaiaannya (oleh ustad/dai) cukup disitu saja sudah mendapatkan pahala. Makanya pelaksanaanya pun cukup sampai disitu saja. Sementara dalam menjalankan ajaran agama harus berdampak tidak pada dirinya saja, tapi juga pada orang lain dan lingkungan disekitarnya. Kalau ibadah ritual (personal) itu hanya berdampak pada dirinya, tapi ibadah sosial bisa berdampak pada orang lain, juga pada lingkungan sekitarnya. Ibadah personal itu ada batasnya dan hanya berdampak pada dirinya, sementara ibadah sosial banyak macam dan caranya, serta berdampak luas pada orang lain dan lingkungan. Mungkin perlu dicontohkan disini ibadah yang bagaimana yang berdampak pada lingkungan, menyumbang anak yatim piatu, ini jelas ibadah yang berdampak pada orang lain. Yang menyumbang secara iklas dapat pahala, yang disumbang mendapat bantuan untuk keperluannya. Contoh lain, petani menanam padi, ini termasuk perbuatan ibadah yang berdampak pada orang lain, karena hasil panennya juga dinikmati orang lain. Juga menanam pohon untuk penghijauan, ini termasuk perbuatan ibadah, karena melestarikan lingkungan, dan itu perbuatan mulia juga. Menolong orang yang lagi kena musibah, itu ibadah yang berdampak pada orang lain. Jadi kata lain, seseorang yang melakukan kebaikan itu berarti menjalankan ibadah, dan itulah sesungguhnya ajaran agama yang dikehendaki oleh Allah. Jangan sampai menganggap ibadah personal (ritual) sebagai satu-satunya tiket untuk bisa masuk surga, sementara ibadah sosial dianggap tidak ada nilainya. Justru ibadah sosial ini sebagai fondasinya ibadah ritual (personal) yang bersifat vertical. Jadi tegak lurusnya ibadah (personal) ritual ditentukan kekuatan fondasi sebagai ibadah sosialnya yang bersifat horizontal (sebelum mendapat kasih dari langit, tebarlah kasih dibumi). Itulah ‘ejo wentahnya’ muslim Nusantara dalam mengimplementasikan ajaran agama Islam yang sudah mendarah daging. Jadi kalau ada penilaian bahwa orang (Jawa) Nusantara dalam menjalankan ajaran agama Islam tidak sesuai aslinya, itu karena orang (Jawa) Nusantara bisa memisahkan mana agama, mana budaya. Jadi tidak mencampur adukkan agama dan budaya, agama kita jalankan, budaya tetap seperti yang kita miliki. Saat sekarang banyak pemuka agama mengajarkan budaya Arab (Timur Tengah) sebagai pelengkap (disunahkan) dalam memeluk agama Islam, jadi umat muslim merasa ‘lebih’ bila memakai hijab, sorban dlsb. Arabisasi, itu tuduhan sementara pada orang-orang yang mencampur adukkan budaya Arab dan agama. Faktanya memang demikian bahwa agama sudah berpolitik, berkampanye untuk sekedar mencari pendukung, bukan menitik beratkan pada esensi dan kualitas pendalaman pemahaman terhadap agama. Terbukti, walaupun Indonesia mayoritasnya muslim, tapi korupsi dan penyelewengan jabatan, perbuatan asusila, narkoba dll, nomer satu di Asia Tenggara (?). Nah, ini membuktikan ada yang salah dalam menyampaikan ajaran agama, atau ada yang salah dalam memahami ajaran agama, dan mungkin ada yang salah dalam mengamalkan ajaran agama tersebut. (sementara disini dulu).
Langganan:
Komentar (Atom)